Tanah longsor membunuh ratusan jiwa. Sepanjang tahun 2014, sejumlah 338 orang meninggal akibat tanah longsor.
"Tanah longsor menjadi bencana paling mematikan tahun 2014," kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tahun 2014, ada 385 kejadian tanah longsor. Selain ratusan korban meninggal, ratusan rumah juga rusak dan belasan 13.262 orang harus mengungsi.
Sutopo menyatakan, tren bencana tanah longsor terus meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014. Jumlah korban meninggal dan kerugian akibat bencana itu juga tinggi.
Tahun 2005, ada 50 kejadian tanah longsor dengan jumlah korban meninggal 212 orang. Sementara, sejumlah 3.530 orang mengungsi.
Kejadian longsor terbanyak dalam satu dekade terakhir adalah tahun 2010. Ada 400 kejadian longsor dengan 266 korban meninggal dan 4.239 korban yang harus mengungsi.
"Tanah longsor menjadi bencana paling mematikan tahun 2014," kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tahun 2014, ada 385 kejadian tanah longsor. Selain ratusan korban meninggal, ratusan rumah juga rusak dan belasan 13.262 orang harus mengungsi.
Sutopo menyatakan, tren bencana tanah longsor terus meningkat sejak tahun 2005 hingga 2014. Jumlah korban meninggal dan kerugian akibat bencana itu juga tinggi.
Tahun 2005, ada 50 kejadian tanah longsor dengan jumlah korban meninggal 212 orang. Sementara, sejumlah 3.530 orang mengungsi.
Kejadian longsor terbanyak dalam satu dekade terakhir adalah tahun 2010. Ada 400 kejadian longsor dengan 266 korban meninggal dan 4.239 korban yang harus mengungsi.
Kejadian longsor besar lain adalah di Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk, Banjarmangu, Banjarnegara, Jawa Tengah pada 4 Januari 2006. Sejumlah 76 orang tewas.
Di Karanganyar, Jawa Tengah, tanah longsor pernah terjadi pada 26 Desember 2007. Sebanyak 62 orang tewas dan kerugiannya mencapai 137 miliar.
Longsor besar juga pernah terjadi di Ciwideuy pada 22 Februari 2010, menewaskan 33 korban jiwa. Di Cililin, Bandung, longsor terjadi 25 Maret 2013 dengan 14 orang tewas.
Sutopo mengatakan, "kejadian longsor banyak terjadi pada bulan Januari dan Februari, terus mengikuti puncak musim hujan."
Menurut Sutopo, wilayah rawan longsor tersebar dari Sabang sampai Merauke. Wilayah itu antara lain sepanjang bukit barisan Sumatera, selatan Jawa, dan sulawesi bagian tengah.
Jumlah warga Indonesia yang terpapar langsung bahaya longsor sejumlah 40,9 juta jiwa, seperenam penduduk Tanah Air.
Di antara sejumlah warga itu, terdapat 4,28 juta jiwa balita, 323.000 jiwa orang berkebutuhan khusus dan 3,2 juta jiwa lansia yang lebih rentan bencana.
Survei BNPB menunjukkan, kapasitas untuk menyelamatkan diri dari bencana longsor masih rendah, terutama di wilayah-wilayah yang terpencil.
"Seperti di Cililin, wilayahnya sangat sulit dijangkau. Waktu kita kesana, tidak bisa pakai kendaraan roda empat," kata Sutopo dalam konferensi pers Senin (15 Desember 2014).
Menurut Sutopo, wilayah rawan longsor tersebar dari Sabang sampai Merauke. Wilayah itu antara lain sepanjang bukit barisan Sumatera, selatan Jawa, dan sulawesi bagian tengah.
Jumlah warga Indonesia yang terpapar langsung bahaya longsor sejumlah 40,9 juta jiwa, seperenam penduduk Tanah Air.
Di antara sejumlah warga itu, terdapat 4,28 juta jiwa balita, 323.000 jiwa orang berkebutuhan khusus dan 3,2 juta jiwa lansia yang lebih rentan bencana.
Survei BNPB menunjukkan, kapasitas untuk menyelamatkan diri dari bencana longsor masih rendah, terutama di wilayah-wilayah yang terpencil.
"Seperti di Cililin, wilayahnya sangat sulit dijangkau. Waktu kita kesana, tidak bisa pakai kendaraan roda empat," kata Sutopo dalam konferensi pers Senin (15 Desember 2014).
Pakar longsor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Edi Prasetyo
Utomo, mengungkapkan, masalah longsor terkait persoalan lingkungan.
Di Banjarnegara dan banyak wilayah Indonesia, area rawan longsor dipakai sebagai sebagai hunian dan lahan pertanian serta minim terasering.
Untuk melepaskan dari bahaya longsor, Edi mengungkapkan, "perlu ada langkah menghutankan kembali. Jangan bertanam tanaman perdu di wilayah rawan longsor."
Selain itu, perlu dibangun sistem peringatan dini longsor di wilayah yang memang berpotensi tinggi.
Menurut BNPB, wilayah berpotensi tinggi longsor tersebar di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.
Edi mengungkapkan, "masyarakat sebaiknya minggir dulu dari lokasi bahaya. Hujan masih terus berlangsung sampai Februari. Kita belum tahu karakteristik hujannya."
Sutopo menuturkan, pengembangan sistem peringatan dini harus disertai dengan pendekatan budaya kepada masyarakat. Jika tidak, hasilnya tak memuaskan.
"Masyarakat malah merasa khawatir. Peringatan dini malah dianggap membuat deg-degan saja," jelas Sutopo.
Pemerintah juga mesti serius berinvestasi pada penanganan bencana. Dana kebencanaan saat ini masih minim, hanya 0,02 - 0,03 persen dari APBN. Seharusnya, minimal 1 persem./
"Mitigasi bencana harus dianggap sebagai investasi. Di luar negeri, ada survei bahwa berinvestasi 1 dollar AS bisa menyelamatkan kerugian dari bencana sebesar 7-40 dollar AS," ungkap Sutopo. (Sumber : Kompas.com)
Di Banjarnegara dan banyak wilayah Indonesia, area rawan longsor dipakai sebagai sebagai hunian dan lahan pertanian serta minim terasering.
Untuk melepaskan dari bahaya longsor, Edi mengungkapkan, "perlu ada langkah menghutankan kembali. Jangan bertanam tanaman perdu di wilayah rawan longsor."
Selain itu, perlu dibangun sistem peringatan dini longsor di wilayah yang memang berpotensi tinggi.
Menurut BNPB, wilayah berpotensi tinggi longsor tersebar di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.
Edi mengungkapkan, "masyarakat sebaiknya minggir dulu dari lokasi bahaya. Hujan masih terus berlangsung sampai Februari. Kita belum tahu karakteristik hujannya."
Sutopo menuturkan, pengembangan sistem peringatan dini harus disertai dengan pendekatan budaya kepada masyarakat. Jika tidak, hasilnya tak memuaskan.
"Masyarakat malah merasa khawatir. Peringatan dini malah dianggap membuat deg-degan saja," jelas Sutopo.
Pemerintah juga mesti serius berinvestasi pada penanganan bencana. Dana kebencanaan saat ini masih minim, hanya 0,02 - 0,03 persen dari APBN. Seharusnya, minimal 1 persem./
"Mitigasi bencana harus dianggap sebagai investasi. Di luar negeri, ada survei bahwa berinvestasi 1 dollar AS bisa menyelamatkan kerugian dari bencana sebesar 7-40 dollar AS," ungkap Sutopo. (Sumber : Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar