Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara terbesar yang memiliki keanekaragaman floran dan fauna. Satwa Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi karena wilayahnya yang luas dan berbentuk kepulauan tropis. Keanekaragaman yang tinggi ini disebabkan oleh Garis Wallace, membagi Indonesia menjadi dua area; zona zoogeografi Asia, yang dipengaruhi oleh fauna Asia, dan zona zoogeografi Australasia, dipengaruhi oleh fauna Australia.
Pencampuran fauna di Indonesia juga dipengaruhi oleh ekosistem yang beragam di antaranya: pantai, bukit pasir, muara, hutan bakau, dan terumbu karang.
Masalah ekologi yang muncul di Indonesia adalah proses industrialisasi dan pertumbuhan populasi
yang tinggi, yang menyebabkan prioritas pemeliharaan lingkungan menjadi
terpinggirkan. Keadaan ini menjadi semakin buruk akibat aktivitas pembalakan liar, yang menyebabkan berkurangnya area hutan; sedangkan masalah lain, termasuk tingginya urbanisasi, polusi udara, manajemen sampah dan sistem pengolahan limbah juga berperan dalam perusakan hutan.
Asal Fauna Indonesia :
Asal
mula fauna Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek geografi dan
peristiwa geologi di benua Asia dan Australia. Pada zaman purba, pulau Irian (New Guinea) tergabung dengan benua australia.
Hughasiusilum :
Nama dari benua Australia 12.000.000 tahun yang lalu untuk sebagai
landasan benua Australia yang akan dibentuk dari batuan yang umurnya
muda yaitu kurang dari 2 juta tahun.
Benua Australia membentuk superbenua yang dinamakan superbenua selatan Gondwana. Superbenua ini mulai terpecah 140 juta tahun yang lalu, dan daerah New Guinea (yang dikenal sebagai Sahul) bergerak menuju khatulistiwa. Akibatnya, hewan di New Guinea
berpindah ke benua Australia dan demikian pula sebaliknya, menimbulkan
berbagai macam spesies yang hidup di berbagai area hidup dalam ekosistem. Aktivitas ini terus berlanjut sampai dua daerah ini benar-benar terpisah.
Di lain pihak, pengaruh benua Asia merupakan akibat dari reformasi superbenua Laurasia, yang timbul setelah pecahnya Rodinia sekitar 1 miliar tahun yang lalu. Sekitar 200 juta tahun yang lalu, superbenua Laurasia benar-benar terpisah, membentuk Laurentia (sekarang Amerika) dan Eurasia.
Pada saat itu, sebagian wilayah Indonesia masih belum terpisah dari
superbenua Eurasia. Akibatnya, hewan-hewan dari Eurasia dapat saling
berpindah dalam wilayah kepulauan Indonesia, dan dalam ekosistem yang
berbeda, terbentuklah spesies-spesies baru.
Pada abad ke-19, Alfred Russel Wallace mengusulkan ide tentang Garis Wallace,
yang merupakan suatu garis imajiner yang membagi kepulauan Indonesia ke
dalam dua daerah, daerah zoogeografis Asia dan daerah zoogeografis
Australasia (Wallacea). Garis tersebut ditarik melalui kepulauan Melayu, di antara Kalimantan (Borneo) dan Sulawesi (Celebes); dan di antara Bali dan Lombok.
Walaupun jarak antara Bali dan Lombok relatif pendek, sekitar 35
kilometer, distribusi fauna di sini sangat dipengaruhi oleh garis ini.
Sebagai contoh, sekelompok burung tidak akan mau menyeberang laut
terbuka walaupun jaraknya pendek
Paparan Sunda
Hewan-hewan di daerah paparan Sunda, yang meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil yang mengelilinginya, memiliki karakteristik yang menyerupai fauna di Asia. Selama zaman es,
setelah Laurasia terpecah, daratan benua Asia terhubung dengan
kepulauan Indonesia. Selain itu, kedalaman laut yang relatif dangkal
memungkinkan hewan-hewan untuk bermigrasi ke paparan Sunda.
Spesies-spesies besar seperti harimau, badak, orangutan, gajah, dan leopard ada di daerah ini, walaupun sebagian hewan ini sekarang dikategorikan terancam punah. Selat Makassar, laut antara Kalimantan dan Sulawesi, serta selat Lombok, antara Bali dan Lombok, yang menjadi pemisah dari Garis Wallace, menandakan akhir dari daerah paparan Sunda.
Mamalia
Paparan Sunda memiliki spesies berjumlah total 515. Dari jumlah itu, 173 di antaranya merupakan spesies endemik daerah ini. Sebagian besar dari spesies-spesies ini terancam keberadaannya dan hampir punah. Dua spesies orangutan, Pongo pygmaeus (orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan Sumatra) termasuk dalam daftar merah IUCN. Mamalia terkenal lain, seperti bekantan (Nasalis larvatus), badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), dan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) juga sangat terancam jumlah populasinya.
Burung
Menurut Konservasi International,
sebanyak 771 spesies unggas terdapat di paparan Sunda. Sebanyak 146
spesies merupakan endemik daerah ini. Pulau Jawa dan Bali memiliki
paling sedikit 20 spesies endemik, termasuk Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan Cerek Jawa (Charadrius javanicus).
Berdasarkan data dari Burung Indonesia,
jumlah jenis burung di Indonesia sebanyak 1598 jenis . Dengan ini
membawa Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki
jumlah jenis burung terbanyak se-Asia. Sejak tahun 2007, Burung
Indonesia secara berkala memantau status keterancaman dari burung-burung
terancam punah yang berada di Indonesia berdasarkan data dari BirdLife International.
Tahun 2007-2009 terjadi penurunan status keterancaman burung secara
berturut-turut mulai dari 119 jenis (2007), 118 jenis (2008), dan 117
jenis (2009).
Reptil dan Amfibia
Sebanyak 449 spesies dari 125 genus reptil
diperkirakan hidup di paparan Sunda. Sebanyak 249 spesies dan 24 genus
di antaranya adalah endemik. Tiga famili reptil juga merupakan endemik
di wilayah ini: Anomochilidae, Xenophidiidae and Lanthanotidae. Famili Lanthanotidae diwakili oleh earless monitor (Lanthanotus borneensis), kadal coklat Kalimantan yang sangat langka dan jarang ditemui. Sekitar 242 spesies amfibia dalam 41 genus hidup di daerah ini. Sebanyak 172 spesies, termasuk Caecilian dan enam genus adalah endemik.
Ikan
Sebanyak hampir 200 spesies baru ditemukan di daerah ini dalam
sepuluh tahun terakhir. Sekitar 1000 spesies ikan diketahui hidup di
dalam sungai, danau, dan rawa-rawa di paparan Sunda. Kalimantan
mempunyai sekitar 430 spesies, dan sekitar 164 di antaranya diduga
endemik. Sumatra memiliki 270 spesies, sebanyak 42 di antaranya endemik. Ikan arwana emas (Scleropages formosus) yang cukup terkenal merupakan contoh ikan di daerah ini.
Wallacea
Wallacea merupakan daerah transisi biogeografis antara paparan Sunda ke arah barat, dan daerah Australasian
ke arah timur. Daerah ini meliputi sekitar 338.494 km² area daratan,
terbagi ke dalam banyak pulau kecil. Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku,
dan sebagian Nusa Tenggara merupakan bagian dari daerah ini. Karena
faktor geografinya, daerah ini terdiri dari banyak jenis hewan endemik
dan spesies fauna yang unik.
Mamalia
Wallacea mempunyai sejumlah 223 spesies asli mamalia. Sebanyak 126 di
antaranya merupakan endemik daerah ini. Sebanyak 124 spesies kelelawar
bisa ditemukan di daerah ini. Sulawesi,
sebagai pulau terbesar di daerah ini memiliki jumlah mamalia yang
paling banyak. Sejumlah 136 spesies, 82 spesies dan seperempat genus di
antaranya adalah endemik. Spesies yang luar biasa, seperti anoa (Bubalus depressicornis) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa) hidup di pulau ini. Sedikitnya tujuh spesies kera (Macaca spp.) dan lima spesies tarsius (Tarsius spp.) juga merupakan hewan khas daerah ini.
Burung
Lebih dari 700 jenis burung bisa ditemui di Wallacea, dan lebih dari
setengahnya adalah endemik kawasan ini. Di antara 258 genus yang ada,
ada 11%-nya adalah endemik kawasan Wallacea. Sejumlah 16 genus hanya
dapat dijumpai di subkawasan Sulawesi. Subkawasan Sulawesi terdiri dari
pulau utama Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, termasuk
Kepulauan Talaud dan Sangihe di utara, Pulau Madu di Laut Flores di
sebelah selatan, termasuk juga Kep. Togian, Kep. Banggai, Kep.
Tukangbesi, dan Kep. Sula yang menjembatani kekayaan keragaman burung
antara subkawasan Sulawesi dan Maluku.
Banyaknya jumlah jenis endemik di
subkawasan ini tidak hanya berasal dari pulau utama Sulawesi tapi juga
tersebar di banyak pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Serindit
sangihe(Loriculus catamene), Seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi), Gagak banggai (Corvus unicolor), Punggok Togian (Ninox burhani), Gosong sula (Megapodius bernsteinii), Kepudang-sungu sula (Coracina sula), dan Raja-perling sula (Basilornis galeatus). Sedangkan jenis-jenis endemik pulau Sulawesi meliputi Anis sulawesi (Cataponera turdoides), Sikatan matinan (Cyornis sanfordi), Julang sulawesi (Aceros cassidix) dan Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus). Banyak jenis yang hanya terdapat di subkawasan ini adalah jenis-jenis terancam punah secara global.
Dengan 222 spesies, 99 di antaranya endemik, Wallacea memiliki jenis
reptil yang sangat beragam. Di antaranya adalah 118 spesies kadal yang
60 di antaranya adalah endemik; 98 spesies ular, 37 spesies di antaranya
adalah endemik; lima spesies kura-kura, dua spesiesnya merupakan
endemik; dan satu spesies buaya, buaya Indo-Pasifik (Crocodylus porosus). Tiga genus endemik ular yang hanya dapat ditemukan di wilayah ini: Calamorhabdium, Rabdion, dan Cyclotyphlops. Salah satu reptil yang mungkin paling terkenal di Wallacea adalah komodo (Varanus komodoensis), yang diketahui keberadaannya hanya di Pulau Komodo, Padar, Rinca, dan tepi barat Flores.
Sebanyak 58 spesies amfibia khas dapat ditemukan di Wallacea.
Sebanyak 32 spesies di antaranya adalah endemik. Ini menggambarkan
kombinasi elemen katak daerah Indo-Melayu dan Australasia yang
mempesona.
Ikan
Ada sekitar 310 spesies ikan tercatat dari sungai-sungai dan
danau-danau Wallacea. Sebanyak 75 spesies di antaranya adalah endemik.
Walaupun masih sedikit yang dapat diketahui mengenai ikan ikan dari
Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil, 6 spesies diketahui sebagai
endemik. Di pulau Sulawesi, ada 69 spesies yang diketahui, 53 di
antaranya adalah endemik. Danau Malili di Sulawesi Selatan, dengan kedalamannya yang kompleks dan arusnya yang deras memiliki paling sedikit 15 jenis ikan telmatherinid endemik, dua di antaranya mewakili genus endemik, tiga endemik Oryzia, dua endemik halfbeaks, dan tujuh endemik gobie.
Invertebrata
Terdapat sekitar 82 spesies kupu-kupu yang ada di daerah Wallacea, 44
spesies di antaranya adalah endemik. Sejumlah 109 spesies kumbang juga
terdapat di sekitar daerah wilayah ini, 79 di antaranya adalah endemik.
Satu spesies yang mengagumkan dan mungkin merupakan lebah terbesar di
dunia, (Chalicodoma pluto) terdapat
di utara Maluku. Serangga yang hewan betinanya bisa tumbuh sampai 4 cm
ini, membangun sarang secara komunal pada sarang rayap di pepohonan
hutan dataran rendah.
Sekitar 50 moluska endemik, tiga spesies kepiting endemik, dan
sejumlah spesies udang endemik juga diketahui berasal dari Wallacea. (Sumber : wikipedia.org)
Komodo
Pulau Komodo menjadi jagoan Indonesia dalam ajang tujuh keajaiban alam baru dunia atau New7Wonders of nature. Pulau di Nusa Tenggara Timur itu adalah habitat asli Komodo.
Sejarah mencatat, hewan dijuluki 'dinosaurus terakhir di muka bumi'. Keberadaannya baru dikenal luas pada tahun 1910. Kala itu kolonial Belanda mendengar kisah rakyat soal 'buaya yang hidup di darat'. Beberapa tahun kemudian, sebuah makalah ilmiah terbit, mengidentifikasi Komodo sebagai kadal monitor. Nama latin Varanus komodoensis pun disematkan padanya. Mulai 1915, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melindungi hewan langka itu.
Tak hanya unik, biawak Komodo ini telah lama menjadi obyek penelitian banyak ilmuwan. Satu persatu para ilmuwan menguak misteri Komodo. Berikut hasil penelitian ilmuwan tentang Komodo:
1. Asal usul Komodo
Meski habitat aslinya di NTT, penelitian ahli pada tahun 2009 menyimpulkan, Komodo ternyata bukan hewan asli Indonesia.
Ahli palaeontologi dan arkeologi dari Australia, Malaysia, dan Indonesia membuktikan tulang Komodo sama dengan tiga fosil hewan yang ditemukan di Queensland. Itu memperkuat teori bahwa Australia adalah tempat evolusi Komodo.
Fosil yang ditemukan di Queensland menunjukan bahwa Komodo berasal dari Australia empat juta tahun yang lalu dan bertahan kira-kira hingga 300.000 tahun lalu.
Para peneliti juga menemukan bahwa Komodo menyebar ke sejumlah wilayah, kemudian sampai di Pulau Flores sekitar 900.000 tahun lalu -- rumah terbaik bagi hewan itu.
Sementara di tempat asalnya, Australia, Komodo punah 50.000 tahun lalu -- bertepatan dengan saat manusia tiba di Australia. Komodo juga menghilang dan punah di beberapa pulau lain di Indonesia, kecuali Flores.
2. Bisa melahirkan dalam kondisi perawan
Perempuan mungkin bisa hidup tanpa laki-laki, ini setidaknya berlaku untuk Komodo. Biawak raksasa betina bisa menghasilkan bayi tanpa pembuahan jantan.
Flora, Komodo yang tinggal di Chester Zoo, London menjadi buktinya. Pada 2006 lalu, ia melahirkan delapan telur Komodo. Melalui proses partenogenesis - reproduksi aseksual tanpa pembuahan, dalam keadaan perawan.
Kejadian di kebun binatang London itu adalah kali pertamanya partenogenesis pada Komodo yang tercatat terjadi di dunia.
Ilmuwan menguak reproduksi Komodo bisa dilakukan dengan dua cara: seksual atau aseksual, tergantung pada kondisi lingkungan mereka. Di kebun binatang, biasanya Komodo betina ditempatkan terlisah dari yang lain.
Sejarah mencatat, hewan dijuluki 'dinosaurus terakhir di muka bumi'. Keberadaannya baru dikenal luas pada tahun 1910. Kala itu kolonial Belanda mendengar kisah rakyat soal 'buaya yang hidup di darat'. Beberapa tahun kemudian, sebuah makalah ilmiah terbit, mengidentifikasi Komodo sebagai kadal monitor. Nama latin Varanus komodoensis pun disematkan padanya. Mulai 1915, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melindungi hewan langka itu.
Tak hanya unik, biawak Komodo ini telah lama menjadi obyek penelitian banyak ilmuwan. Satu persatu para ilmuwan menguak misteri Komodo. Berikut hasil penelitian ilmuwan tentang Komodo:
1. Asal usul Komodo
Meski habitat aslinya di NTT, penelitian ahli pada tahun 2009 menyimpulkan, Komodo ternyata bukan hewan asli Indonesia.
Ahli palaeontologi dan arkeologi dari Australia, Malaysia, dan Indonesia membuktikan tulang Komodo sama dengan tiga fosil hewan yang ditemukan di Queensland. Itu memperkuat teori bahwa Australia adalah tempat evolusi Komodo.
Fosil yang ditemukan di Queensland menunjukan bahwa Komodo berasal dari Australia empat juta tahun yang lalu dan bertahan kira-kira hingga 300.000 tahun lalu.
Para peneliti juga menemukan bahwa Komodo menyebar ke sejumlah wilayah, kemudian sampai di Pulau Flores sekitar 900.000 tahun lalu -- rumah terbaik bagi hewan itu.
Sementara di tempat asalnya, Australia, Komodo punah 50.000 tahun lalu -- bertepatan dengan saat manusia tiba di Australia. Komodo juga menghilang dan punah di beberapa pulau lain di Indonesia, kecuali Flores.
2. Bisa melahirkan dalam kondisi perawan
Perempuan mungkin bisa hidup tanpa laki-laki, ini setidaknya berlaku untuk Komodo. Biawak raksasa betina bisa menghasilkan bayi tanpa pembuahan jantan.
Flora, Komodo yang tinggal di Chester Zoo, London menjadi buktinya. Pada 2006 lalu, ia melahirkan delapan telur Komodo. Melalui proses partenogenesis - reproduksi aseksual tanpa pembuahan, dalam keadaan perawan.
Kejadian di kebun binatang London itu adalah kali pertamanya partenogenesis pada Komodo yang tercatat terjadi di dunia.
Ilmuwan menguak reproduksi Komodo bisa dilakukan dengan dua cara: seksual atau aseksual, tergantung pada kondisi lingkungan mereka. Di kebun binatang, biasanya Komodo betina ditempatkan terlisah dari yang lain.
3. Misteri gigitan mematikan Komodo
Meski berbadan besar - bisa mencapai 3 meter, gigitan Komodo termasuk lembek. Namun, entah bagaimana, kadal raksasa itu bisa memangsa hewan besar, seperti kerbau misalnya.
Apa rahasia gigitan Komodo?
Meski berbadan besar - bisa mencapai 3 meter, gigitan Komodo termasuk lembek. Namun, entah bagaimana, kadal raksasa itu bisa memangsa hewan besar, seperti kerbau misalnya.
Apa rahasia gigitan Komodo?
Ahli biologi dari University of New South Wales, Australia menemukan,
dalam mulut Komodo terdapat beberapa lusin gigi setajam silet.
Gigi runcing itu dikombinasikan dengan otot kuat di lehernya yang gemuk. "Kombinasi teknik makan cerdas dan tajamnya gigi, memungkinkan gigitannya bisa berakibat mematikan," kata ahli biologi, Stephen Wroe.
Untuk menguak misteri gigitan Komodo, para ahli membangun sebuah model kepala dan tenggorokan hewan itu dengan perangkat lunak. Rahang Komodo boleh saja lemah, tapi 100 juta tahun evolusi telah memberinya senjata yang ampuh.
"Komodo punya teknik makan yang unik, terus menerus menarik makanannya." Ia menangkap mangsanya dan menghujamkan 60 gigi tajam. Menutupi kekurangan gigitan yang lemah, otot tenggorokannya yang kuat akan menarik mangsa masuk ke perut."
Gigi runcing itu dikombinasikan dengan otot kuat di lehernya yang gemuk. "Kombinasi teknik makan cerdas dan tajamnya gigi, memungkinkan gigitannya bisa berakibat mematikan," kata ahli biologi, Stephen Wroe.
Untuk menguak misteri gigitan Komodo, para ahli membangun sebuah model kepala dan tenggorokan hewan itu dengan perangkat lunak. Rahang Komodo boleh saja lemah, tapi 100 juta tahun evolusi telah memberinya senjata yang ampuh.
"Komodo punya teknik makan yang unik, terus menerus menarik makanannya." Ia menangkap mangsanya dan menghujamkan 60 gigi tajam. Menutupi kekurangan gigitan yang lemah, otot tenggorokannya yang kuat akan menarik mangsa masuk ke perut."
Komodo akan menelan utuh-utuh mangsanya dan memuntahkan sisa-sisa yang tak dapat ia cerna: rambut dan sebagian tulang.
4. Di balik air liur Komodo yang mematikan
Selain keunikan teknik makannya, Komodo juga memiliki senjata lain untuk melumpuhkan mangsanya: air liur.
Meski seekor hewan bisa lolos dari serangan Komodo, ia segera melemah dan akhirnya mati.
Untuk jangka waktu yang lama, peneliti menduga, bakteri di air liur hewan itu bertanggung jawab menimbulkan luka infeksi yang parah pada korbannya. Bakteri itu meracuni darah korban.
Namun, dugaan itu terbantahkan pada tahun 2005 lalu. "Adanya bakteri dalam air liur Komodo atelah menjadi dongeng ilmiah," kata Bryan Fry, peneliti racun di University of Melbourne, Australia.
Fry dan timnya mempelajari susunan biokimia dalam air liur Komodo. Mereka menemukan, racun tersebut bisa dengan cepat menurunkan tekanan darah, mempercepat hilangnya darah, dan membuat korban menjadi syok -- hingga tak berdaya melawan.
Para ilmuwan menemukan, apa yang terkandung dalam liur Komodo serupa dengan racun yang dimiliki ular paling berbisa yang hidup di pedalaman Taipan, Australia.
Sementara para rekannya takjub dengan penemuan ini, Fry mengaku tak heran. Sebab, penelitian yang pernah ia lakukan sebelumnya menemukan, sejumlah spesies kadal -- seperti Iguana, kadal tak berkaki, dan kadal monitor juga memiliki bisa. (disarikan dari LiveScience & VIVA.co.id)
4. Di balik air liur Komodo yang mematikan
Selain keunikan teknik makannya, Komodo juga memiliki senjata lain untuk melumpuhkan mangsanya: air liur.
Meski seekor hewan bisa lolos dari serangan Komodo, ia segera melemah dan akhirnya mati.
Untuk jangka waktu yang lama, peneliti menduga, bakteri di air liur hewan itu bertanggung jawab menimbulkan luka infeksi yang parah pada korbannya. Bakteri itu meracuni darah korban.
Namun, dugaan itu terbantahkan pada tahun 2005 lalu. "Adanya bakteri dalam air liur Komodo atelah menjadi dongeng ilmiah," kata Bryan Fry, peneliti racun di University of Melbourne, Australia.
Fry dan timnya mempelajari susunan biokimia dalam air liur Komodo. Mereka menemukan, racun tersebut bisa dengan cepat menurunkan tekanan darah, mempercepat hilangnya darah, dan membuat korban menjadi syok -- hingga tak berdaya melawan.
Para ilmuwan menemukan, apa yang terkandung dalam liur Komodo serupa dengan racun yang dimiliki ular paling berbisa yang hidup di pedalaman Taipan, Australia.
Sementara para rekannya takjub dengan penemuan ini, Fry mengaku tak heran. Sebab, penelitian yang pernah ia lakukan sebelumnya menemukan, sejumlah spesies kadal -- seperti Iguana, kadal tak berkaki, dan kadal monitor juga memiliki bisa. (disarikan dari LiveScience & VIVA.co.id)